Ulasan film “Surat Untuk Bidadari” (1994)

a-fi
4 min readMay 11, 2023

--

gambar : https://m.filmaffinity.com/us/film544213.html

Judul : Surat Untuk Bidadari

Rilis : 12 Februari 1994

Durasi : 116 Menit

Sutradara : Garin Nugroho

Film ini berlatarkan Sumba, Nusa Tenggara Timur. “Surat Untuk Bidadari” memenangkan penghargaan di festival film Berlin ke-41, sekaligus membawa Garin Nugroho sebagai salah satu sutradara dan penulis skenario terbaik.

Sinopsis :

Film ini bercerita tentang seorang bocah 9 tahun, yang penuh dengan rasa keingintahuan tentang segala hal, dunia dan apapun. Bocah itu bernama Lewa, ia sangat hiperaktif, keras kepala, dan tempramental. Lewa selalu percaya bahwa di desanya ada malaikat yang baik, yang dia sebut sebagai “bidadari”. Ia selalu menulis dan mengirim surat untuk bidadari, dan selalu mengharap balasan dan jawaban.

Lewa memiliki teman baik, yaitu kakanya Malaria Tua (Fuad Idris) dan Berlian Merah (Arifin).

Di desa tempat Lewa tinggal, ada preman yang bernama Kuda Liar, ia tuan tanah. Dan Kuda Liar adalah musuh bagi Lewa, karena ia jahat. Kuda Liar membunuh suami Berlian Merah dan ayahnya (karena masalah tanah).

gambar : https://asianfilmarchive.org

Ditengah kebingungan dan rasa penasarannya itu, Lewa yang pada saat itu memiliki kamera (yang dia dapat dari hasil barter) memotret segala hal yang ia lihat dan alami, sehingga menjadi sangat liar bersama kamera itu.

Kelebihan :
Menurut saya, film ini benar-benar spektakuler, mulai dari keindahan dan panorama pulau Sumba, hingga adat dan kebudayaannya. Sepanjang Saya menonton film ini saya benar-benar memfokuskan diri saya pada bagian pelaksanaan upacara adatnya. Beberapa upacara adat dalam film ini antara lain: Upacara penguburan suami Berlian Merah, Upacara Penyucian Hewan, dan Upacara Minta Maaf pada Arwah. Menurut pengakuan sang sutradara (Garin Nugroho), upacara adat dalam film ini direkam dan ditampilkan secara alami.

gambar : film "Surat Untuk Bidadari"

Kemudian, ada adegan dimana mayat ayah Lewa diposisikan seperti jongkok dan memegang kedua pipinya, kemudian dikubur dalam lubang dan ditutupi batu. Ini adalah bagian dari prosesi upacara adat penguburan mayat tersebut, dan ini adalah salah satu hal yang unik bagi Saya.

gambar : garinnugroho.net

Lalu pada sinematografi film ini. Meskipun, Saya menonton yang bukan versi HD, namun Saya memuji panorama dan keindahan Savana Sumba, tidak perlu diragukan lagi tentang keindahannya.

Untuk penokohannya, Saya suka karakter Lewa dan bu Guru. Lewa dengan rasa ingin tahu akan dunia dan segala hal, penuh semangat dan kegigihan untuk belajar dan memahami dunia dengan cara pandangnya sendiri. Ya, kita tidak harus sama dalam memandang dunia, bukan? Melalui Lewa, Saya paham bahwa kita tidak selalu harus membenarkan apa yang kita yakini, tapi terkadang kita juga perlu meyakini apa yang benar dan secara nyata kita rasakan. Begitupun, sosok bu Guru dalam film ini, sangat perhatian dan sabar mengajari murid-muridnya, meski kondisi

sekolah sangat memprihatinkan

dengan jarak tempuh yang cukup

jauh. Kegigihan guru ini, membuat Saya berterima kasih kepada siapapun, yang menjadi guru.

Kekurangan :

Sebenarnya tidak ada banyak kekurangan yang saya temukan dalam film ini. Namun, menurut Saya ada satu dua hal yang perlu dikritik, misalnya pada bagian “pemerkosaan” yang dialami oleh Berlian Merah, Saya heran mengapa adegan ini perlu? padahal jika tidak ada adegan ini pun tak masalah, karena adegan ini tidak berpengaruh pada alur film ini, tidak ada pengembangan. Selain itu, film ini juga menampilkan banyak kekerasan, baik fisik maupun seksual, sehingga bagi beberapa penonton mungkin merasa sedikit tidak nyaman. Akan tetapi, kekerasan dalam film, menurut Saya itu bagian dari konflik dan membuat cerita terasa hidup. Terakhir, film ini tidak dilengkapi oleh Subtitle bahasa Indonesia, melainkan bahasa Inggris, bagi Saya sebagai penonton agak susah memahaminya, karena tokohnya banyak berdialog menggunakan bahasa daerah.

Kesimpulan :

Film ini mampu mempresentasikan budaya dan tradisi Sumba dengan apik. Penggambaran kondisi antropologi masyarakat disana begitu detail dalam film ini, terasa begitu nyata. Saya bahkan bisa merasakan adrenalin dalam setiap adegan-adegan yang menyoroti tradisi dan budaya Sumba. Saya juga kagum dengan para pemeran yang mampu memainkan karakternya secara alami dan realistis. Dan pesan yang dapat Saya ambil dalam film ini adalah bahwa kita semua tidak harus punya cara pandang yang sama tentang apapun, karena mungkin kita tidak selalu menghadapi tantangan yang sama, tetapi bervariatif. Tentu saja, adat dan tradisi tetap dijaga dan dilestarikan. Akhir kata, film ini adalah salah satu film terbaik dan terkeren sepanjang masa, Saya mengakui dan akan merekomendasikan kepada siapapun.

Bu guru dan murid-muridnya (adegan favorit)
Lewa dan Ayahnya (semasa hidup)
Lewa dan kakaknya, sedang bermain
Bu Guru, Lewa, Malaria Tua, dan Berlian Merah

Sumber gambar : garinnugroho.net

Sekian,

dan

terima kasih!

--

--

a-fi
a-fi

Written by a-fi

"a-fi kala" merupakan karakter fiktif yang terjebak di semesta raya, lahir pada 127 di Nifi (dunia fiksi). Tulisan disini random, bisa tema apa saja.

No responses yet