a-fi
4 min readJul 25, 2023

Resensi Roman “Namaku Teweraut”

Judul : Namaku Teweraut
Penulis : Ani Sekarningsih
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia
Tahun Terbit : 2000
Halaman : XVI + 298
Tebal : 21 cm

Sinopsis :
Sebuah roman yang menggambarkan kehidupan antropologis masyarakat tradisional. Berlatarkan Papua, Roman ini banyak menyingkap budaya dan peran adat yang masih patriarkis. Lebih khususnya Roman ini berfokus pada tokoh “Teweraut” seorang gadis yang menjalani kehidupan dengan rasa penasaran terhadap dunia luar, namun sebagai gadis dari suku Asmat, ia harus terbelenggu oleh adat istiadat yang berlaku. Meski demikian, ia sangat menghormati dan bangga akan kekayaan budaya yang dimiliki oleh sukunya.

Keunggulan :
Penulis menyuguhkan banyak informasi tentang suku Asmat, mulai dari letak geografisnya, sistem kepercayaan, upacara adat, tradisi dan budaya, mata pencaharian, hingga kehidupan sakral dan mistis (bagian mysticism ini yang paling menarik). Salah satu hal yang menarik, yaitu upacara ritual mbis pokmbu atau pesta mbis atau upacara tonggak leluhur. Dengan menghimpun roh-roh korban melalui upacara mbis dan memakan daging musuhnya, serta patung mbis disucikan dengan darah musuh tersebut. Mereka meyakini bahwa proses tersebut dapat menambah kekuatan dan ketangguhan.

Hal menarik lainnya, yaitu nyanyian ndaiso, bagian dari upacara mbis yang merupakan bentuk nyanyian yang dikeramatkan karena susunan kisahnya diyakini mengandung tenaga gaib yang sulit untuk dijelaskan. Roman ini juga, menggambarkan tentang adat perkawinan suku Asmat, yang dimana mereka melakukan perkawinan poligami (dalam roman ini, Teweraut sebagai istri ketujuh). Sistem perkawinannya adalah endogami, karena menurut mereka jika menikah dengan sesama suku kemungkinan bertengkar jarang terjadi. Mereka juga dilarang menganiaya istrinya (wanita), hal ini untuk menunjukkan bahwa suku Asmat sangat menjunjung tinggi derajat kaum wanita.

Penggambaran beberapa karakter juga cukup bagus. Meskipun, tokoh utamanya adalah Teweraut, tapi penggambaran karakter lain juga tak kalah keren dari tokoh utamanya. Misalnya karakter Mama Rin, yang digambarkan sebagai tokoh yang berjasa dalam pemberdayaan masyarakat suku Asmat dan sebagai pembela suku Asmat, dia banyak membantu orang-orang pedalaman untuk mendapatkan hak-hak mereka. Juga ada tokoh lain, ayahnya Teweraut, nDesnam, yang dikenal sebagai salah satu panglima perang suku Asmat di Ewer (sebuah daerah di Kabupaten Asmat, Papua).

Roman ini meninggalkan kesan cerita dan alur yang kuat, memukau dan membekas. Sebelum baca buku ini, sekadar tahu suku Asmat sebagai suku kanibalisme dan menyeramkan, tapi setelah baca, ternyata lebih dari itu. Setelah mengikuti kisah Teweraut dan tokoh-tokoh lain dalam cerita ini, mengubah point of view-ku tentang suku Asmat, suku Asmat adalah suku yang sangat mencintai alam, karena kehidupan mereka sangat bergantung pada alam sekitarnya. Mereka sangat menghargai nenek moyangnya dan keputusan adat (musyawarah). Meski terisolasi dan jauh dari modernisasi, nyatanya mereka lebih "manusia" dari manusia modern yang hidup di kota-kota jauh sana (yang katanya intelek dan open minded), sebagian orang modern (kota) hanya menjadikan masyarakat adat sebagai subjek (sampel) penelitian saja atau sekadar konten (di era digitalisasi). Mereka memandang suku pedalaman sebagai orang yang keras dan ganas. Akan tetapi, orang modern jauh lebih keras dan ganas dari orang pedalaman, sebagaimana ungkapan Homo Homini Lupus, manusia adalah serigala bagi manusia lain. Roman ini juga menyenggol isu mengenai orang-orang kota (kalangan atas) yang kerap mengambil keuntungan dari hutan milik suku Asmat, yang selama ini mereka rawat dan jaga, kalangan atas merebut tempat suci mereka.

Kekurangan :
Penggambaran karakter Teweraut kurang "kuat", karena diawal cerita karakter Teweraut merupakan seorang pemberani dan intelek banget (pas baca bagian awal, kagum sama tokoh ini). Namun, sayangnya di tengah cerita hingga mendekati ending, karakter tokohnya kurang dapat, karakter Teweraut berubah menjadi orang yang mudah untuk dipengaruhi, jadi lebih lemah. Kurang nyambung sama karakternya di awal. Meski demikian, di akhir cerita karakter Teweraut digambarkan sebagai orang yang setia dan nasionalis, menjadi kebanggan bagi orang-orang di Ewer.

Kemudian di bab tiga terlalu monoton banget, bab tiga isinya perjalanan Teweraut dan rombongan pergi ke luar negeri untuk acara seni dan budaya, disana mereka menampilkan tarian adat serta seni pahat patung. Kenapa monoton? Soalnya fokus penulis di bab ini lebih banyak menyoroti tentang orang kampung yang kagum sama modernisasi dan kemajuan teknologi (yang menurutku terlalu klise), sehingga membuatnya membosankan untuk dibaca (pas baca bagian ini banyak yang diskip). Perjalanan mereka ke beberapa negera yang menurutku seharusnya digambarkan dengan seru dan menyenangkan, malah kurang seru dan nggak jelas. Akan tetapi, bagian mereka mempersembahkan tariat suku Asmat dihadapan dunia itu cukup mengagumkan.

Kesimpulan :
Kalau lagi nyari buku tentang etnografi yang ringan, pas banget baca roman ini. Karena, deskripsi tentang kehidupan sosio-kultur suku Asmat disini sangat detail dan cukup kompleks (padahal ini roman). Lalu, kisah Teweraut dan Mama Rin juga bisa jadi inspirasi bagi siapapun yang membacanya. Roman ini cukup komplit, selain menghadirkan banyak kisah dan petualangan tokohnya, roman ini juga memberikan banyak pengetahuan mengenai kehidupan suku Asmat, yang ternyata cukup kompleks dan transenden (dan diriku suka banget). Serta menampilkan sisi lain dari kehidupan masyarakat pedalaman.

Catatan :

  • Diriku banyak belajar hal baru melalui buku ini, bagaimana survive-nya orang-orang dari suku Asmat dalam menjaga alam mereka, membuatku lebih sadar bahwa alam adalah aspek penting bagi kehidupan masyarakat (khususnya masyarakat adat seperti suku Asmat).
  • Diriku juga sadar, betapa pentingnya mengakrabkan diri dengan hal lain yang mungkin “berbeda” dari diriku ataupun suku Mbojo (Bima). Suku Asmat memiliki identitas yang kuat sebagai sebuah kelompok etnis, mereka memiliki daya tarik tersendiri, begitupun juga dengan suku Mbojo.
  • Dan menurutku ada satu bagian penting yang tak boleh terlewatkan, bahwa kekayaan budaya dan adat istiadat serta keberagaman yang dimiliki Indonesia merupakan suatu anugerah terbaik dari Ruma Ta’ala.

Jelajahilah “dunia yang penuh dengan misteri, sempurna dan penuh teka-teki”, sebagaimana seniman pengukir Asmat, mereka melewati perjalanan panjang yang digelar oleh alam, demi mengukir ekspresi mereka melalui seni pahat patung.

a-fi
a-fi

Written by a-fi

"a-fi kala" merupakan karakter fiktif yang terjebak di semesta raya, lahir pada 127 di Nifi (dunia fiksi). Tulisan disini random, bisa tema apa saja.

No responses yet