Refleksi Sosial Budaya Masa Lampau dalam Kehidupan Modern (Di Desa Gondang, KLU)
Tulisan ini sebagai salah satu bentuk dokumentasi Saya selama melakukan Kuliah Kerja Partisipatif (KKP). Bagi Saya ini sangat berharga, sebab Saya bisa belajar banyak hal tentang adat istiadat, budaya, dan tradisi yang berbeda dari budaya suku sendiri. Menurut Saya memahami budaya dan suku orang lain sangat menarik, sebab melalui ini Saya banyak merefleksikan diri Saya sendiri selama melakukan wawancara, observasi, dan penelitian lainnya. Adapun kutipan yang selalu Saya pegang selama belajar antropologi dan etnografi adalah:
“Belajar dari orang lain (perilaku, budaya, tradisinya), untuk memahami diri sendiri”
Desa Gondang adalah sebuah desa yang tertua di Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Secara administratif desa ini terbentuk pada tahun 1800, sebagaimana sebagian wilayah lombok lainnya, desa Gondang juga pernah “dijajah” oleh suku Bali.
Sebuah keberuntungan besar bagi Saya untuk mewawancarai salah satu informan di Desa ini. Informan merupakan seorang guru SD (pensiun), kelahiran tahun 1957. Sebut saja informan ini sebagai “Pak Hero”, dalam wawancara Pak Hero bercerita mengenai kondisi alam Desa Gondang pada masa lampau, pada saat itu sebagian besar wilayah KLU, khususnya di wilayah Gondang sekarang ini, masih berupa hutan dan rumah-rumah sangat berjarak. Berdasarkan pengalamannya, ia menceritakan bahwa pada masa lalu untuk bersekolah ia harus berjalan kaki berkilo-kilometer, namun kegigihannya untuk mencari ilmu tidak pernah dipatahkan oleh kata “lelah” itu. Pada masa lampau, wilayah Gondang masih terisi dengan keasrian alam, belum banyak orang-orang yang mendiami wilayah ini. Dan sepengamatan Saya sampai sekarang juga masih asri, meskipun penduduk wilayah ini sudah lumayan banyak.
Namun, ada fakta menarik dari penduduk-penduduk yang mendiami Desa Gondang. Berdasarkan pengakuan Pak Hero bahwa ia pernah diperintahkan untuk melakukan sensus penduduk di Desa ini, ditemui fakta bahwa hampir seluruh penduduk yang ia survei merupakan orang-orang pendatang. Ada yang berasal dari Jawa, Bali, Bima, Sumbawa, Mataram, Lombok barat, Lombok Timur, dan Lombok Tengah. Jadi, tidak ada penduduk asli yang mendiami wilayah Gondang, bahkan informan sendiri aslinya berasal dari Narmada, Lombok Barat.
Di masa lampau, makanan pokok dari penduduk Desa ini adalah umbi-umbian, saking banyaknya “ambon” (bahasa sasak), warga mengolah ubi untuk dijadikan opak-opak (kerupuk khas sasak).
Kehidupan masa lampau yang dideskripsikan oleh ingatan melalui lisan Pak Hero begitu komunal dan sederhana, tidak ada kecanggihan alat komunikasi, transportasi, dan lain-lain. Kehidupan sederhana membuat Pak Hero dan warga merasa cukup dengan apa yang dimilikinya pada saat itu. Tidak ada tuntutan keinginan dan hasrat untuk menikmati kemewahan sebagaimana kehidupan modern, mereka berdiri diatas kaki kesederhanaan dan kealamian semesta, tanpa menuntut apapun dari alam, cukup bersyukur atas segala anugerah yang alam sediakan.
Tidak luput, Pak Hero juga tetap menjaga tradisi lisan, ia menceritakan kepada Kami folklor yang pernah ia dengar secara turun termurun dan berkembang dalam masyarakat Gondang, termasuk misteri istana kerajaan para wali di Gunung Rinjani.
Lantas bagaimana kita dapat merefleksikan nilai-nilai masa lampau ke dalam kehidupan modern sekarang?
Saya hanya memiliki jawaban yang sederhana, yaitu melanggenggkan nilai kesederhanaan itu dalam kehidupan sehari-hari, cukup dengan menjaga keseimbangan alam (rasio) dan belajarlah untuk mengendalikan hasrat dan keinginan.
Sederhana tidak membuat Anda terlihat miskin, dan mempertahankan budaya masa lampau bukanlah kuno.