Mengintip Cara Orang-orang Kanum dan Marori Mencintai Alam Lebih Mesra (Perspektif Etno-Ekologi)

a-fi
4 min readDec 16, 2024

--

Prakata

Setuju dengan apa yang disampaikan oleh Desi Anwar dalam buku berjudul: “Going Offline”, bahwa dunia offline itu lebih indah, dan bagaimana anda seharusnya menikmati keindahan itu? salah satunya memperhatikan hal-hal kecil disekitar Anda, dan nikmatilah alam semesta, sadarilah kehadiran dan keindahannya.

Jauh sebelum mengungkapkan tulisan ini, Saya ingin membagikan momen dan perasaan Saya beberapa hari ini. Jadi, jalan kaki sudah menjadi “habbit” sejak saya memulainya, salah satu cara saya bermesra dengan alam adalah dengan jalan kaki (terutama di waktu subuh), udara segar, bersih, begitu juga dengan angin sepoi-sepoi dan ketenangan yang dipersembahkan alam asri begitu syahdu, sunggu sangatlah rugi bagi mereka yang mengabaikannya. Saya telah menemukan alasan mengapa Saya tidak boleh tidur setelah subuh, karena Saya harus menyapa angin sepoi-sepoi dan kemegahan suasana subuh tidak boleh Saya lewatkan. Orang Jepang menyebutnya Ikigai, temukan alasan mengapa kamu harus melakukannya.

Mengapa penting kita memperhatikan dan lebih sadar akan alam sekitar? sebab dengan itu salah satu cara kita menghargai kehadirannya.

Saya sangat menyukai Papua (NTT, Bima, dan Sulawesi), salah satu dari begitu banyak mimpi saya ialah menikmati langsung karunia Tuhan disana. Merupakan jatuh cinta saya dengan kehidupan ekologis dan magis mereka, masyarakatnya punya daya tarik yang cukup menarik untuk menjaga keseimbangan alam mereka, yaitu selalu ada unsur magis dan spiritualitas dalam menghargai alam.

Masyarakat Papua

Masyarakat Papua beserta kehidupan kompleksnya telah menarik saya lebih jauh dalam mempelajari mereka, semacam hal-hal transenden. Sepanjang jalan kaki, saya memikirkan keseharian yang begitu dekat dengan alam, namun kita malah cuek. Hal ini justru berbeda dengan sikap suku Kanum dan Marori (suku di Papua) yang digambarkan oleh I Ngurah Suryawan dalam bukunya “Ruang Hidup Yang Redup”, bagaimana cara mereka menjaga keseimbangan antara aktivitas manusia dan terjaganya alam begitu eksotis, romantis, magis.

Dalam bukunya, I Ngurah Suryawan menarasikan, bahwa orang-orang Kanum, dan Marori (disana ada banyak marga) membawa sakralitas sebagai identitas mereka, terhubung dengan hutan-hutan beserta kekayaannya. Sakralitas yang mereka yakini sebagai identitas disimbolkan dengan adanya totem-totem, keyakinan mereka kental terhadap dema, yaitu yang disebut oleh mereka nenek moyang (atau makhluk mistis atau kekuatan mistis/dewa pada keyakinan zaman dahulu), kekuatan dema dipersonifikasi dalam rupa manusia, binatang, tumbuhan, benda-benda, dan seluruh yang terhubung dengan alam.

Cara unik serta lebih terbukti untuk menjaga alam telah diterapkan oleh masyarakat pada suku-suku di Papua. Sebab mereka meyakini bahwa alam semesta adalah bagian dari sakralitas dan identitas mereka. Namun, dunia yang jahat merampas itu semua, penebangan pohon dan pengrusakan hutan ditanah sakral mereka semakin miris, belum lagi dengan aktivitas pertambangan yang semakin merusak ekologis disana (oleh saya disebut faktor eksternal kerusakan alam Papua). Sementara, faktor internalnya adalah kemiskinan, tuntutan perut memaksa mereka untuk merusak alam, kadang kala orang di suku Kanum dan Marori sendiri yang melakukan aktivitas sensor dan menebang pohon kemudian dijual, orang-orang Sulawesi dan Jawa biasanya yang mengambil hasil bumi tersebut. Ikan-ikan dan hewan lain didalam hutan diburu tanpa henti oleh beberapa anggota suku karena sudah tak ada pilihan lain untuk menyelamatkan perut keroncongan, padahal mereka meyakini hewan-hewan bagian dari nenek moyang, seperti Rusa dan Burung Ndik, merupakan simbol bagi beberapa marga disana. Namun, masalah perut adalah yang utama, disinilah saya melihat identitas dan sakralitas tadi mengalami krisis, sehingga kehancuran alam lebih menyedihkan dari sebelumnya.

Pada masa lampau, berdasarkan pernyataan orang-orang Kanum dan Marori yang diwawancarai oleh I Ngurah Suryawan, marga-marga disana begitu menjaga alam mereka, oleh karena objek alam diyakini sebagai personifikasi dari roh/arwah nenek moyang mereka. Sehingga, bagi mereka menyakiti alam sama seperti bunuh diri (melukai diri sendiri).

Mereka sendiri memiliki tempat-tempat pamali sebagai upaya dalam menjaga keteraturan dan keseimbangan. Njungkumempat merupakan sebuah pulau sakral yang dikeramatkan oleh orang Kanum Smerkey di Kampung Tomerauw. Pulau ini disakralkan oleh marga Ndimar, keyakinan mereka terhadap pulau ini ialah tempat para leluhur tinggal yang menjelma menjadi ular patola, yang oleh marga Ndimar disebut njungkume, dan menjadi salah satu totem penting bagi marga Ndimar, dimana tidak boleh sembarang membunuh ular patola. Sehingga kelestarian alam disana terjaga, karena tidak boleh sembarangan mengambil tumbuhan maupun hewan-hewan disana, mereka hanya diperkenankan untuk mengambil yang ada di luar pulau. Cara sederhana mereka menjaga agar tidak merusak semua tumbuhan di pulau itu dengan mewariskan cerita-cerita kepada anak istrinya mengenai tempat tinggal sakral nenek moyangnya yang tidak bisa diganggu, serta sebagai bentuk penghormatan mereka ialah dengan meletakkan sirih pinang dan rokok pada setiap melintasi pulau tersebut.

Namun, pudarnya sakralitas dan identitas mengganggu keseimbangan alam yang selama ini mereka jaga, kesadaran manusia tidak lagi berkehendak pada kosmos melainkan pada suara perut keroncong.

Tulisan I Ngurah Suryawan (Ruang Hidup Yang Redup), mendeskripsikan kehidupan ekologis suku Kanum dan Marori dengan alam begitu mesra.

--

--

a-fi
a-fi

Written by a-fi

"a-fi kala" merupakan karakter fiktif yang terjebak di semesta raya, lahir pada 127 di Nifi (dunia fiksi). Tulisan disini random, bisa tema apa saja.

No responses yet