Disclaimer! putusan ini sudah dikeluarkan tahun 2010, namun sengaja membuat tulisan ini di tahun 2024, karena berkaitan dengan tugas matkul, sehingga tertarik untuk membahasnya lagi, terima kasih.
Dalam putusan ini, MK mengabulkan permohonan pemohon sebagian, sebagian yang dimaksud yaitu seorang anak yang dilahirkan di luar perkawinan dapat mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya. Tentu saja, putusan ini mengundang banyak perdebatan, hingga putusan ini ditentang oleh MUI sebab MK dianggap melenceng dari syariat. Maka dari itu, artikel ini akan menjelaskan bagaimana dasar hukum MK dalam membuat putusan, apa saja dampaknya, dan apakah berpengaruh dalam ketahanan keluarga jika status anak di luar perkawinan yang sah dapat diakui secara hukum? Oleh karena itu, artikel ini akan berusaha untuk menganalisis putusan MK Nomor 46/PUU-VII/2010 tentang status anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah.
Dasar Hukum
Salah satu landasan hukum dari hakim konstitusi adalah UUD 1945, salah satu pasal yang menjadi pertimbangan yakni pasal 28D (1):
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Selain itu, mengutip pertimbangan hakim dalam putusannya bahwa sebagaimana penjelasan pada pasal 2 (2) UU No. 1 Tahun 1974: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, dan pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, khususnya mengenai hak untuk mendapatkan status hukum anak.
Bahwa pertimbangan hukumnya ada pada pokok permasalahan hukum mengenai pencatatan perkawinan menurut peraturan perundang-undangan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) pencatatan perkawinan. Mengenai permasalahan tersebut, penjelasan umum angka 4 huruf b UU 1/1974 tentang asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan menyatakan, “bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte yang juga dimuat dalam daftar pencatatan”.
Berdasarkan Penjelasan UU 1/1974 di atas bahwa pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan, serta pencatatan merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Adapun faktor yang menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan calon mempelai, sehingga perkawinannya adalah sah. Diwajibkannya pencatatan perkawinan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan merupakan kewajiban administratif.
Dampak Positif
Meski demikian, putusan MK tentang status anak yang dilahirkan di luar perkawinan, memilki dua sisi. Pada satu sisi misalnya berbicara mengenai dampak positif dari putusan ini. Dampak positif bagi anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah yakni, pertama, mendapat hak keperdataan dari kedua orang tua (ibu atau bapak), sehingga kepentingan serta hak perdata anak tidak dirugikan oleh konstitusi. Kedua, anak yang dilahirkan mendapat perlindungan, baik perlindungan hukum maupun kepentingan perdata. Ketiga, anak diakui secara sah oleh negara, yang dengan demikian mendapatkan dua hali, yakni kepentingan hukum dan perdatanya dilindungi oleh negara. Serta, tidak adalagi diskriminasi terhadap anak yang lahir diluar perkawinan, yang dimana kerap dikatakan sebagai "anak haram" oleh sebagian masyarakat.
Dampak Negatif
Akan tetapi, di sisi lain, putusan MK terkait hal ini juga bersinggungan dengan norma-norma agama dan nilai yang selama ini diyakini oleh masyarakat Indonesia pada umumnya, yang erat akan ketimurannya. Dampak negatifnya jika ditinjau dari norma agama, laki-laki dan perempuan dapat berbuat zina secara semena-mena tanpa mengkhawatirkan implikasi hukumnya (hukum negara), sebab tidak ada konsekuensi (hukuman) yang tegas terhadap perbuatan tersebut. Sehingga, akan banyak anak yang dilahirkan tanpa bapak, yang dapat menimbulkan ketidakjelasan pada status anak. Hal ini secara tidak langsung dapat mengakibatkan merebaknya kasus seks bebas, yang impact-nya dari sisi medis dapat meningkatkan kasus HIV/AIDS. Selain itu, perlu diingat pancasila adalah landasan, falsafah kita dalam bernegara, bahkan peraturan perundang-undangan harus mempertimbangkan semangat dan nilai pancasila, pada yang seharusnya mengalir darah pancasila di dalamnya. Pasal 2 UU 10/2004 menegaskan penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara, artinya Pancasila sebagai ideologi bangsa harus dipegang teguh sebagai pedoman untuk membuat kebijakan atau melahirkan keputusan. Terkait dengan putusan MK, juga harus mempetimbangkan nilai yang ada dalam pancasila, pada sila pertama disebutkan "Ketuhanan Yang Maha Esa", artinya norma (nilai) agama adalah norma tertinggi dalam Pancasila, yang dimana sila-sila berikutnya tidak dapat bertentangan dengan norma agama. Oleh karena itu, kebijakan yang dikeluarkan, pun harus memperhatikan norma agama. Sejalan dengan pasal 29 (1) UUD 1945, yang menyatakan: "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa", pasal ini menegaskan kembali bahwa norma agama menjadi sentral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hasil putusan Mahkamah Konstitusi terhadap permohonan tersebut yaitu menerima sebagian permohonan pemohon, yakni terkait dengan anak dapat memiliki hubungan keperdataan dengan bapak maupun keluarga bapaknya. Menurut hemat penulis, jika ditinjau dari norma agama, tentu saja ini memberi peluang bagi laki-laki dan perempuan untuk melakukan perbuatan zina, sementara dalam agama Islam (agama mayoritas di Indonesia) menganggap bahwa perbuatan zina adalah perbuatan yang keji sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an. Sehingga, tidak ada batasan antara pergaulan laki-laki dan perempuan.
Pengaruh Putusan MK terhadap Ketahanan Keluarga
Adapun impact dari putusan ini dilihat dari segi ketahanan keluarga, maka si anak mendapatkan hak waris dan hak keperdataan lainnya, dan hubungan antara bapak dengan anak semakin erat, begitupun dengan keluarga bapak. Sebab, tidak ada lagi stereotipe "anak haram". Ini dapat membangun keluarga yang utuh dimana bapak bertanggungjawab atas si anak, dan ibu dalam hal ini seorang perempuan tidak lagi didiskriminasi dengan menanggung si anak seorang diri, sementara laki-laki dilepas begitu saja tanggung jawabnya. Akan tetapi, status seorang anak baik diakui maupun tidak diakui sah oleh hukum, bukan indikator untuk mengukur tingkat ketahanan keluarga. Sebab, menurut teori ketahanan keluarga, ada enam aspek (karakterisitik) dalam menentukan keluarga tangguh menurut Nick Stinnett, John DeFrain, dkk, antara lain: 1) apresiasi dan afeksi, 2) komunikasi positif, 3) spiritual well-being, 4) komitmen, 5) waktu bersama yang menyenangkan, 6) kemampuan mengelola stres dan krisis. Jadi, kesimpulannya adalah bahwa hasil putusan MK terkait status anak yang dilahirkan di luar perkawinan tidak memiliki pengaruh terhadap ketahanan keluarga.